"...Awalnya aku
hanya iseng melihat foto masa kecilku dengan ayah. Kini, aku menulis berderai
air mata membayangkan tubuhnya..."
Hari minggu
pukul 4 sore adalah detik-detik yang tidak pernah menyenangkan. Aku harus
bersiap dan bergegas pulang kembali ke tempat dimana aku melanjutkan sekolah,
iya Jogja. Jogja memang menungguku dengan sejuta pesona, tapi kehangatan Solo
tak pernah ada tandingannya. Sering aku berharap hari Sabtu itu lebih panjang,
sehingga aku punya banyak waktu untuk menikmati kota asalku dan isinya.
Satu hal yang
paling aku rindukan adalah bertemu dengan ayahku. Iya, ayah yang sekarang
merangkap menjadi ibu juga dan bahkan kakakku. Nggak tau kenapa, malam ini aku
ingin menulis tentang ayah. Ketika perjalanan dikereta menuju Jogja aku
menyumbat kedua telingaku dengan headset berharap aku tidak menghiraukan semua
hiruk pikuk keramaian dengan mendengarkan playlist-playlist favoriteku. Sesaat
mataku berkaca ketika playlistku sampai pada sebuah rekaman lagu jadul yang
sudah sangat lama kusimpan, aku bahkan lupa kapan merekamnya namun tidak pernah
terlewat aku dengarkan tiap malam, tepatnya itu rekaman suara gitar ayahku. Tapi
berbeda, kali ini seperti ada suasana mistik yang menghipnotisku. Entahlah apa
saat itu yang merasukiku sehingga aku mulai menunduk dan kehilangan fokus. Aku
hanya ingin menangis, berlari memeluk kakinya seperti ketika aku masih kecil
dulu dan berteriak keras-keras “Ayah aku menyayangimu. Kamu sangat hebat, aku
bangga padamu. Tidak akan pernah ada lelaki manapun yang bisa menggantikanmu
bahkan suamiku kelak.”
Hal itu
berlanjut ketika aku menunggu bus Trans Jogja disebuah shelter. Aku melihat
seorang kakek paruh baya yang sudah kehilangan penglihatan berebut tempat duduk
bersama seorang anak yang selalu menggandengnya, kakek terengah-engah, mungkin
setelah perjalanan jauhnya. Aku mulai tersentuh, dalam hati aku bergumam
“Kenapa aku rapuh sekali?”. Lalu terbayang sosok ayah dibenakku, ayahku yang
selalu berkata “Dek,gimana sekolahmu? Lancar? Gunakan waktumu sebaik-baiknya
ya. Ayah sudah setengah abad, mungkin akan menyusul mama tak lama lagi.
Semangat ya dek.” Kalimat yang tidak pernah lupa beliau tanyakan ketika aku
pulang kerumah. Dan bahkan sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana harus
menjawabnya selain tersenyum. Yang aku tahu hanya satu jawaban dalam hatiku
“Pah, aku ingin lebih lama lagi, selama mungkin.” Oh God, kali ini aku tidak
hanya berkaca-kaca, aku meneteskan air mata, cengeng memang.
Terlintas aku
ingin kembali ke masa kecilku dulu, dimana aku sering dimanja, masih punya
banyak waktu bersama, memarahiku ketika aku mulai bebal, menggendongku ketika
aku mulai lemah, mengangkatku ketika aku tersandung bahkan jatuh. Awalnya aku
hanya iseng melihat foto masa kecilku dengan ayah. Kini, aku menulis berderai
air mata membayangkan tubuhnya yang mungkin tak lama lagi akan merapuh,
kulitnya yang mengeriput, penglihatan dan kebugaran yang mulai berkurang,
ingatannya yang lemah dimakan usia dan hanya bisa memanggil namaku ketika tak
sanggup melakukan sesuatu.
Berbicara
tentang masa depan, jujur aku takut. Seperti saat memiliki dan takut bila
kehilangan. Aku memang takkan pernah bisa memperlambat waktu bahkan
menghentikannya. Aku hanya ingin waktu dapat berteman denganku, menjadi
pengingatku bahwa sudah tak ada lagi kesempatan untuk menyia-nyiakan sesuatu.
Menjadi penghiburku ketika semua terasa dekat dan menakutkan, menyadarkanku
bahwa masih ada sedikit celah untuk bersyukur.
Wahai waktu,
tolong jaga ayahku baik-baik. Bersahabatlah dengannya lakukan demi aku, supaya
ayahku menyadari bahwa dia tidak sendirian menjalani hidup. Ketahuilah bahwa
aku sangat menyayanginya. Jangan sekali-kali melepasnya kecuali bila memang
kehendakNya.
nice.. saya tidak bisa berkata kata baca tulisanmu ini.. semoga waktu berkenan akan mu..
ReplyDeleteterimakasih :)))
Delete