“Kau ada dalam daftar segala sesuatu yang paling kucintai—tepat dibawah
cokelat.”
Saat itu Desember 1963. Aku dan Jack ingin
saling memberi seuatu yang istimewa pada Natal pertama kami bersama, tapi kami
tak punya uang ekstra untuk membeli hadiah. Kami telah berkencan, jatuh cinta
dan menikah, semua dalam jangka waktu tiga bulan. Kami masih muda, kasmaran dan
miskin—benar-benar miskin.
Jack seorang serdadu di Korps Marinir. Dia
ditugaskan di Stasiun Senjata Angkatan Laut, South California. Rumah paling
bagus yang bisa kami bayar dengan gaji Jack yang sembilan puluh dolar sebulan
adalah setengah duplex—bangunan apartemen dua unit—tua yang reyot. Tempat itu
tepat berada di tengah padang tempat sapi merumput disisi belakang Goose Creek.
Tempat itu terpapar ke udara terbuka,
atapnya bocor, dan tanpa air panas. Tapi kami bersama dan itulah yang
terpenting bagi kami.
Tapi sepengetahuanku, ketika hari-hari dibulan
Desember terus bergulir, Jack bertekad mengejutkanku dengan sesuatu pada Natal
pertama kami bersama. Pada 19 Desember, dia menyembunyikan satu kapak kecil
dibawah jaket lapangannya. Dia menyusupkan tangannya ke dalam sarung tangan
kerjanya, menarik topinya kebawah agar telinganya tetap hangat, dan berjalan
santai ke sisi belakang lapangan rumput dengan diterani sinar bulan. Sekitar
sejam kemudian dia kembali dengan satu pohon pinus kecil menyedihkan serta satu
senyum lebar. Dahan-dahan pohon kecil itu, yang kurus dan keriput, terentang
bagaikan sayap-sayap malaikat bagiku. Aku menyambut hangat kejutan itu dengan
kegembiraan kekanak-kanakan.
“Ini kaleng kopi kosoong, Jack. Kita bisa
mendirikan pohon itu didalamnya,” kataku. Jack mengisi kaleng kopi itu dengan
tanah liat South Carolina dan menjejalkan batang pohon yang kecil itu kedalamnya.
Aku menutup sekekliling kaleng itu dengan salah satu syalku. Lalu, aku menghias
pohon yang mengenaskan ini dengan anting-anting, kalung dan gelangku, permata
buatan dari kaca berkilauan bagaikan kertas emas perada. “Ini bukan pohon
terbesar didunia, tapi inilah pohon Natal paling bagus yang pernah ku miliki,”
kataku sambil mendaratkan ciuman ke pipi Jack. Aku menyandarkan tubuh ke
bahunya yang kuat dan mendesah penuh kebahagiaan.
Tapi Jack belum puas. Dia ingin ada haadiah
untuk ditempatkn dibawah pohon itu. Di petang Natal dalam perjalanan pulangnya
dari tempat kerja, dia berhenti di PX. Total uang dikantongnya sejumlah 21 sen.
Selama satu jam dia mondar-mandir menyusuri lorng mencari sesuatu—apa saja—yang
bisa di belinya untuk cinta dalam kehidupannya dengan tabungan yang begitu
sedikit. Dia nyaris menyerah ketika matanya terpaku pada satu tanda kecil
bertuliskan “15 c”. Dia meraih satu, membayarnya, dan pulang dengan harta karun
terjejal didalam kantong jaket lapanganya.
Malam itu
aku dan Jack makan sandwich bologna didepan pohon Natal kami. Kami
menyanyikan lagu-lagu Natal dan merapat didekat pemanas ruangan gas. Sekitar
tengah malam Jack menghilang ke kamar tisur. Dia muncul kembali dengan tangan
kanan tersembunyi dibalik punggung. Mulutnya mengering dan tangannya gemetar
saat dia mengatakan “Pejamkan matamu sekarang. Ini kejutan.”
“Oh, Jack. Kau tidak seharusnya membelanjakan
uang untuk membeli hadiah. Kita tak mampu untuk itu.”
“Aku tak bisa membiarkan Ntal datang dan pergi tanpa melakukan sesuatu untuk
gadias tercantik di dunia ini. Pejamkan mata dan ulurkan tanganmu.”
Harus kuakui aku
bersemangat. Aku terkikik seperti bocah. Jack meletakkan hartanya di telapak
tanganku yang terbuka. “Aku tahu ini tak banyak. Tapi, ini favoritmu dank au
adalah favorit-ku.” Dia mengembuskan napas dengan keras. “Selamat Natal.”
Aku membuka mata. Ditanganku tergeletak satu
kotak kecil berisi empat gula-gula berbalut cokelat. Aku menarik harta kecil
itu didadaku, kemudian melingkarkan kedua lenganku ke leher pahlawanku.
“Ini hadiah paling
luar biasa yang pernah ku terima. Sungguh luar biasa dicintai olehmu, Jack. Aku
tak percaya kau seutuhnya milikku. Kaulah yang terhebat dalam hidupku.”
Dalam tahun-tahun
berikutnya, keuangan kami membaik. Setiap Natal, pohon kami semakin gaya.
Setia[ tahun hadiah semakin besar dan semakin mahal. Namun, selama 34 Natal,
satu hadiah menduduki satu tempat terhormat dibawah pohon Natal kami. Setiap
tahun hingga kematiannya, Jack memberiku cintanya—terbungkus dalam satu kotak cokelat.
Dan setiap tahun dia semakin dan semakin
menjadi pahlawanku.
Comments
Post a Comment